Back to April

10:00 AM



Masih dalam minggu-minggu ujian akhir semester, banyak hal kurang menyenangkan yang aku saksikan selama ujian, salah satunya kecurangan-kecurangan selama ujian. Entah itu melihat contekan, bertanya pada teman sebelahnya, ataupun melihat lembar jawaban teman sebelahnya diam-diam. Bukan merendahkan atau apa, tapi melihat “fenomena” itu, aku hanya tertawa sinis. Sering aku cerita ini pada teman sahabatku. Ya sahabatku yang aku sebut di post sebelumnya.  

Aku merasa kita sudah seharusnya bergantung pada kemampuan diri masing-masing, terutama saat ujian. Bangku kuliah tentu sangat berbeda dengan bangku sekolah. Masa-masa kuliah sudah sangat dekat dengan kehidupan yang sebenarnya, dunia kerja. Saat kehidupan di bangku kuliah masih disamakan dengan kehidupan di bangku sekolah, aku rasa mereka akan kesulitan menghadapi dunia kerja nantinya. Jika saat ujian saja masih susah untuk berbuat jujur dan percaya pada kemampuan diri sendiri, lalu nanti saat kerja mau bergantung pada siapa? Apa kamu yang berbuat curang saat ujian yakin rekan kerjamu nanti mau direpotkan olehmu?

“fenomena” ini mengingatkanku pada kejadian 2 tahun lalu, saat aku dan sahabatku masih duduk di bangku SMA, kelas 3. Saat itu aku dan dia selalu belajar untuk ujian nasional bersama. Suatu hari, sahabatku ditawari kunci jawaban dengan harga yang cukup murah karena dia diajak oleh beberapa temanku yang lain untuk patungan membeli kunci jawaban ujian nasional. Hari itu, sama seperti hari biasanya saat kita belajar bersama, dia bertanya padaku “Nis, mau beli kunci jawaban ujian nasional gak?” dia menyebutkan harganya yang bisa dibilang cukup murah jika dibandingkan dengan harga kunci jawaban yang aku tau melalui rumor yang beredar. Aku tidak meng-iya-kan tawaran itu. Bukan karena sok suci ataupun sok jujur. Ada beberapa alasan yang memantapkanku menolak tawaran sahabatku itu. Pertama, aku merasa sangat buang-buang waktu jika sudah hampir tiga tahun di bangku SMA belajar ini-itu, mengerjakan tugas ini-itu tapi pada akhirnya menyerah dan bergantung pada kunci jawaban. Kedua, saat kelas tiga SMA itu aku sudah memegang prinsip, sekolah tidak hanya melulu soal nilai. Berapapun nilai yang akan aku dapatkan nanti, insyaAllah aku puas karena aku mengerjakan dengan kemampuanku sendiri. Ketiga, aku bukan dari keluarga yang mampu. Biarpun harga kunci jawaban yang ditawarkan oleh sahabatku itu lebih murah, akan lebih baik jika uang itu bisa dialihkan untuk memenuhi kebutuhan yang lain. 

Oke kembali lagi ke pertanyaan sahabatku tadi “Nis, mau beli kunci jawaban ujian nasional gak?” aku menolak. Hari itu, saat kami belajar bersama, temanku di ambang kebingungan. Di satu sisi, teman-temanku yang lain mengajaknya membeli kunci jawaban demi nilai yang bagus karena ketakutan tidak bisa masuk ke perguruan tinggi yang diinginkan. Di sisi lain, dia juga ingin mengerjakan ujian dengan jujur karena tidak mau perjuangannya selama tiga tahun berakhir sia-sia. 

Hari itu, aku belajar di tempat sahabatku hingga pukul 9 malam. Hingga pukul 9 malam itu pula aku berusaha meyakinkan sahabatku bila kunci jawaban itu tidak perlu. Dari sudut pandangku, sahabatku ini orang yang jauh lebih pintar dariku, lebih cerdas (walaupun tulisannya kadang susah dibaca). Dia juga mengikuti kursus di lembaga kursus yang terkenal. Tentu itu sudah cukup untuk membuatnya percaya diri untuk menghadapi ujian nasional, bukan? Aku saja yang saat itu tidak mengikuti kursus dimanapun, hanya mengandalkan pembelajaran dari sekolah dan belajar bersama sahabatku saja berani bilang tidak pada kunci jawaban, sekali lagi bukan bermaksud sombong. 

Malam itu, dia memutuskan untuk membeli kunci jawaban. Sekali lagi dia menanyakan padaku, apa aku tidak mau membeli kunci jawaban bersamanya dan teman-temanku yang lain. Jawabanku tetap sama. Tidak.

Setelah selasai belajar, sembari berusaha meyakinkan sahabatku untuk tidak membeli kunci jawaban (yang pada akhirnya gagal), aku pulang. Jujur saja, saat di perjalanan pulang aku menangis. Ya, aku menangis. Aku merasa gagal menjadi sahabat yang baik dan mengajak sahabatku untuk berbuat baik pula. Aku merasa semua usahanya sia-sia. Kalo kata orang jawa, eman. Memang, jika aku di posisinya saat itu, pasti sangat bingung. Sahabatku takut mengecewakan orang tuanya. Takut orang tuanya dicemooh orang lain saat tau nilai anaknya jelek. Dia sangat memperdulikan “kata orang”. Tapi tetap saja, tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuk menuntut ilmu. Saat itu juga, jujur, aku marah pada sahabatku. Tentu aku tidak berkata langsung padanya. Aku marah, kenapa ia sangat mudah dipengaruhi dan sangat memperdulikan kata orang. Aku juga pada posisi yang sama, takut mengecewakan orang tuaku. Tapi kenapa aku berani bilang tidak pada kunci jawaban itu? Ibuku selalu bilang, jujur itu lebih penting (bahkan sangat penting) daripada nilai. 

Beberapa hari berlalu sejak kejadian itu. Aku agak lupa bagaimana kejadian setelahnya. yang aku ingat, sahabatku sudah membeli kunci jawaban untuk ujian nasional, tapi ia tidak menggunakannya. Entahlah, mungkin doktrinku berhasil? Haha Alhamdulillah saat itu kami menghadapi ujian nasional tanpa kunci jawaban. Alhamdulillah juga nilai ujian nasional kami (insyaAllah) didapat dari kerja keras dan kejujuran kami. 

Aku pribadi hingga saat ini membawa prinsip itu, usaha dan jujur yang terpenting. Entah bagaimanapun hasilnya, aku pasrah. Maka dari itu, saat aku melihat “fenomena” seperti itu di bangku kuliah, kejadian itu selalu teringat. Sering kali muncul pikiran, bagaimana jika saat itu aku dan sahabatku tergiur kunci jawaban? Apa aku akan berakhir seperti mereka yang masih saja tidak bisa bersikap jujur saat ujian walaupun sudah duduk di bangku kuliah? Entahlah.

Mungkin saja ada yang membaca postingan ini dan termasuk orang-orang yang masih susah untuk bersikap jujur saat ujian, cobalah ingat orang tua kalian. Orang tua kalian tidak mengeluarkan uang untuk mendidik anaknya menjadi pribadi yang tidak jujur. Mungkin kalian ingin membahagiakan dan tidak mau mengecewakan orang tua kalian, tapi apa dengan cara itu? renungkan lagi ya!

Yah ini tulisan yang sangat panjang. Terima kasih sudah menyempatkan membaca. Sampai ketemu di tulisan selanjutnya!

You Might Also Like

0 comments

Contact Form

Name

Email *

Message *

Instagram